Sabtu, 22 Oktober 2016

Perlawanan umat Islam Indonesia terhadap kolonial Belanda

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Kedatangan Belanda ke Indonesia di mulai pada abad ke 16 yang mana berlayar empat buah kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tujuan pelayaran tersebut adalah ke Jawa Barat tepatnya di pelabuhan Banten. Tujuan mereka adalah mencari rempah-rempah dan berdagang, namun melihat kekayaan bangsa Indonesia yang kaya akan hasil alamnya, mereka akhirnya bertujuan untuk menjajah Indonesia.
Belanda berhasil menancapkan kukunya di Indonesia dengan misinya yang ganda (antara imperialis dan kristenisasi) justru sangat merusak dan menjungkirbalikkan tatanan yang sudah ada. Sejak dari zaman VOC (Perseroan Dagang Belanda) kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama atau gold, glory dan gospel yang dikenal dengan sebutan 3G. Maka mulailah kolonialisme yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia.[1]
Umat Islam adalah kekuatan terbesar di negeri ini. Semangat Islam yang kemudian memicu semangat perlawanan bangsa ini untuk mengusir penjajah. Perjuangan bangsa Indonesia dalam meretas jalan menuju kemerdekaan tak lepas dari peran umat Islam. Dengan pengorbanan harta dan jiwa kaum Muslimin, bangsa ini mampu berdiri tegak mengusir penjajah. Perjuangan umat Islam inilah, yang kemudian menciptakan suatu karakter dan cita untuk berjuang menegakkan keadilan dan kemerdekaan, menghapuskan segala bentuk penjajahan, dan berani mati untuk memperjuangkan cita-cita yang luhur.
Di wilayah Nusantara (Indonesia) yang begitu luas, mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam mempunyai semangat yang kuat untuk bisa lepas dari cengkeraman penjajah. Semangat itu tumbuh subur karena adanya rasa tanggungjawab terhadap tanah air, bangsa dan agama. Ajaran Islam yang begitu tegas menentang segala penjajahan di atas muka bumi menjadi pemantik yang menyalakan api perlawanan di mana-mana. Islam menjadi simbol perlawanan dari penjajahan.
  1. Rumusan Permasalahan
1.      Bagaimana keadaan umat Islam Indonesia ketika datangnya Belanda ?
2.      Bagaimana perlawanan umat Islam Indonesia terhadap kolonial Belanda ?
  1. Tujuan Permasalahan
1.      Memahami keadaan umat Islam Indonesia ketika datangnya Belanda.
2.      Memahami perlawanan umat Islam Indonesia terhadap kolonial Belanda.
  


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Keadaan Umat Islam Indonesia Ketika Datangnya Belanda
Menjelang kedatangan Belanda diakhir abad ke 16 dan awal abad ke 17 keadaan Umat Islam di Indonesia khususnya dalam bentuk kekerajaan itu tidaklah sama. Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga dalam proses  pengembangan Islam di kerajaan-kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatra, penduduknya sudah islam sekitar tiga abad, sedangkan di Maluku dan Sulawesi proses islamisasi baru berlangsung. Di Sumatra kerajaan malaka jatuh ke tangan portugis, sehingga persatuan politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segi  tiga  Aceh, Portugis dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam.[2]
Pada abad ke 16 Aceh kelihtan lebih dominan, karena  para pedagang muslim menghindar dari Malaka lebih memilih Aceh sebagai pelabuahan transit. Kemenangan Aceh atas Johor  pada tahun 1564 membuat kerajaan ini menjadi daerah vassal dari Aceh.[3] Aceh telah berhasil mengusai daerah-daerah di Sumatra bagian Utara, Setelah itu Aceh juga berusaha menguasai Jambi  pelabuhan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah-daerah pedalaman, seperti Minangkabau, dan yang diangkut lewat sungai Indragiri, Kampar dan Batanghari.
Di daerah Jambi penduduknya ketika itu  sudah islam, Jambi juga merupakan pelabuhan transito, tempat beras dan bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India, dan lain-lain di ekspor ke Malaka. Selain itu Aceh juga berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatra dan mencakup Tiku, Pariaman, dan Bengkulu. Ketika itu Aceh memang berada pada masa kejayaan dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Setelah Sulatan Iskandar Muda wafat digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini masih mampu mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah dia wafat 15 Februari 1641, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Pada waktu itulah Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah-daerah di Sumatra yang dulu berada di bawah kekusaannya mulai memerdekakan diri. Meski mengalami kemunduran, Aceh masih bertahan lama menikmati kedaulatannya dari intervensi kekuasaan asing. Padahal kerajaan islam lainnya seperti Minangkabuau, Jambi, Riau dan Palembang tidak demikian.[4]
  1. Perlawanan Terhadap Belanda
Ketika Belanda memulai penjajahannya terhadap Indonesia, Belanda mendapat perlawanan oleh rakyat yang di karenakan bangsa Indonesia terjajah dan diperlakukan semena-mena oleh Belanda. Perlawanan tersebut bukan hanya dari bentuk politik kebangsaan, melainkan juga  dari agama. Bahwasanya Belanda disamping menguasai Indonesia dari segi perekonomian, mereka juga menyebarkan agama, yaitu Kristen. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa perlawanan rakyat yang meliputi semua wilayah Nusantara (Indonesia) berperan dalam perjuangan melawan penjajah. Pada abad ke 17 perlawanan terhadap penjajah diantaranya dilakukan oleh :
1.      Sultan Agung Mataram
2.      Sultan Iskandar Muda
3.      Sultan Hasanuddin Makassar
4.      Sultan Agung Tirtayasa
5.      Raja Iskandar Minangkabau
6.      Trunojoyo Madura
7.      Karaeng Galesong dari Makassar
8.      Untung Surapati, Adipati Aria Jayanegara, dan lain-lain.[5]
Perlawanan-perlawanan berlangsung terus-menerus antara rakyat Indonesia dan Belanda yang saling berkesinambungan dengan antar wilayah di Indonesia. Perlawanan-perlawanan itu diantaranya Perang Padri di Minangkabau. Perang ini berlangsung antara tahun 1821-1837 yang terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat. Perang ini dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah seorang berpengaruh dalam keislaman di daerah tersebut, dan juga dibantu oleh ulama lainnya. Pusat kekuasaannya di Pagaruyung, peranan raja hanya sebatas lambang dan yang memegang kekuasaan adalah para penghulu adat. Islam telah masuk di Minangkabau pada abad ke 16 di masa Tuanku Koto Tuo.
Perang ini dipicu oleh campur tangannya pihak Belanda dalam persoalan konflik antara golongan Adat dan kaum Paderi, golongan Adat yang meminta bantuan kepada pihak Belanda untuk melawan pihak kaum Paderi. Pada 1921 maka Belanda telah melangsungkan peralawanan terhadap kaum Paderi serta memulai penjajahannya di tanah Minang tersebut. Hinnga pada Agustus 1837 Belanda berhasil menduduki di Bonjol, Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol akirnya ditangkap dan diasingkan ke Cianjur kemudian dipindahkan ke ambon dan akhirnya di Manado hingga Ia tutup usia.[6]
Selanjutnya Perang Diponegoro, perang ini disebut juga dengan perang rakyat Jawa yang berlangsung  antara tahun 1825-1830. Perang ini merupakan perang besar yang dialami oleh Belanda.[7] Pada 28 Maret 1830 berlangsungnya perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda, namun tidak berujung damai dikarenanakan tuntutannya untuk mendirikan Negara merdeka bersendikan Islam. Pada 3 Mei 1830 Ia ditangkap dan menjadi tawanan oleh pihak Belanda, kemudian diasingkan ke Manado dan dipindahkan ke Makassar. Ia tutup usia 8 Januari 1855 di usianya kurang lebih 70 tahun.
Perang Diponegoro berlangsung selama 5 tahun dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830. Perang tersebut merupakan perjuangan rakyat Islam yang ada di Jawa, yang bertujuan untuk mengusir para penjajahan Belanda terhadap Mereka untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.[8]

Pada tahun 1873, Belanda mulai menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh atau dikenal dengan Perang Aceh. Perang ini adalah perang yang berlangsung paling lama yang dikarenakan Belanda susah dalam merebut atau menguasai wilayah Aceh. Perang ini berlangsung antara tahun 1873-1904 dalam kurun waktu 31 tahun lamanya. Awal perang ini dipicu akibat Belanda melanggar Traktat London 1824 yang mana Inggris menyatakan kedaulatan dan kemerdekaan Aceh. Pada tanggal 22 Maret 1873 datanglah utusan Belanda bernama F.N. Nieuwenhusye menghadap Sultan Aceh yang membawa surat berupa Ultimatum agar Aceh mengakui kedaulatan kolonial Belanda. Empat hari setelahnya Belanda menyatakan perang terhadap Aceh.
Pada tahun 1873, pasukan Belanda dibawah pimpinan J.H.R Kohler mulai menggempur Aceh. Hingga 14 April 1873 Mesjid Raya Baiturrahman berhasil diduduki Belanda, namun Kohler tewas dan serangan pertama Belanda ke Aceh dinyatakan mengalami kegagalan. Menjelang akhir tahun 1873 dikirimkan kembali pasukan dibawah pimpinan Van Swieten yang tujukan pengoperasiannya untuk menggempur istana Kutaraja Aceh dan melancarkan serangan ke penjuru wilayah kekuasaan Aceh.[9]

BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Perjuangan Indonesia bukan hanya melawan penindasan dari penjajahannya saja yang dilakukan di setiap wilyah yang ada di Indonesia, juga menyebarkan agam yang mereka bawa ke Nusantara (Indonesia). Pada awalnya mereka berdagang, namun diakibat keserakahannya terhadap kekayaan alam di Indonesia ini yang membuat ia ingin menguasai dan menyatakan perang di segenap penjuru Nusantara. Maka muncul perlawanan di berbagai wilayah Nusantara.
Perang Padri di Minangkabau. Perang ini berlangsung antara tahun 1821-1837 yang terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat. Perang ini dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah seorang berpengaruh dalam keislaman di daerah tersebut, dan juga dibantu oleh ulama lainnya. Selanjutnya, Perang Diponegoro, perang ini disebut juga dengan perang Jawa yang berlangsung  antara tahun 1825-1830. Perang ini merupakan perang besar yang dialami oleh Belanda.
Pada tahun 1873, Belanda mulai menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh atau dikenal dengan Perang Aceh. Perang ini adalah perang yang berlangsung paling lama yang dikarenakan Belanda susah dalam merebut atau menguasai wilayah Aceh. Perang ini berlangsung antara tahun 1873-1904 dalam kurun waktu 31 tahun lamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Yatim, Badri.  2000.  Sejarah Peradaban Islam.  Jakarta:  Raja Grafindo Persada.
Hamka.  1981.  Sejarah Umat Islam, Jilid IV.  Jakarta:  Bulan Bintang.
Kartodirdjo, Sartono.  1987.  Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900.  Jakarta: Gramedia.



[1]   Hamka, Sejarah umat islam, Jilid IV, Jakarta: Bulan Bintang , 1981, hlm. 237-238.
[2]   Sartono Kartodirdjo, Pengantar sejarah Indonesia baru: 1500-1900, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. 61.
[3]   Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 231
[4]   Sartono Kartodirdjo, ibid., hlm. 65.
[5]   Hamka, Sejarah umat islam, hlm. 271.
[6]   Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm. 244.
[7]   Sartono Kartodirdjo, hlm. 381.
[8]   Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm. 247.
[9]   Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm. 249-251.

contoh proposal penelitian sosial


MOTIVASI PEMUDA DALAM BERWIRAUSAHA
(Studi pedagang di Kompelma Darussalam)


A. ­­­Latar Belakang Masalah

     Pemuda adalah manusia yang berusia 15 – 30 tahun, secara biologis yaitu manusia yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan seperti adanya perubahan fisik, dan secara agama adalah manusia yang sudah memasuki fase aqil baligh yang ditandai dengan mimpi basah bagi pria biasanya pada usia 11 – 15 tahun dan keluarnya darah haid bagi wanita biasanya saat usia 9 – 13 tahun.
Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknya terbebani berbagai macam – macam harapan, terutama dari generasi lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena pemuda diharapkan sebagai generasi penerus, generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang mengisi dan melanjutkan estafet pembangunan.[1]
     Masa pemuda adalah yang Menentukan masa depannya, menentukan kehidupan keluarganya, bahkan menentukan nasib bengsa dan negaranya. Masa pemuda merupakan masa ujian, masa penuh tantangan. Masa sukar di mengerti yang harus dipahami, masa bergelora yang harus diselami. Baik oleh pemuda itu sendiri maupun oleh siapa saja yang berkepentingan dengannya.[2]
     Dengan apa yang telah disebutkan itu seharusnya pemuda memiliki motivasi dan berpikir kreatif dalam melihat peluang kerja. Banyak pemuda yang beranggapan pekerjaan utama itu adalah pekerjaan sampingan, padahal pengertian dari kewirausahaan sangat berbeda dari anggapan mereka.Wirausaha adalah orang atau sekelompok yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.[3]
         Jadi pada dasarnya harapan untuk diterima di dunia kerja tentu tidaklah keliru, namun tidak dapat dipungkiri kesempatan kerja pun sangat terbatas bagi para pemuda dan tidak berbanding dengan lulusan lembaga pendidikan baik dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Oleh sebab itu semua pihak harus berpikir dan mewujudkan karya nyata dalam mengatasi kesenjangan antara lapangan kerja dan instuisi pendidikan.
     Pada masa sekarang ini pemuda dituntut untuk mampu bersaing demi mempertahankan kehidupan yang kian hari terus maju sesuai dengan tuntutan zaman. Demi mempertahankan kelangsungan hidup, pemuda dituntut untuk memiliki skill (kemampuan) dan pengetahuan yang tinggi agar mampu bertahan dan bersaing dengan pemuda lainnya. Tingginya angka kemiskinan di Indonesia berdampak pada lemahnya pendidikan yang dimiliki oleh para pemuda, sehingga bagi mereka yang tidak mampu bersaing akan terus tertinggal dari para pemuda lain. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat suatu tema mengenai “motivasi pemuda dalam berwirausaha studi pada pedagang di Kopelma Darussalam”.

B. Rumusan Masalah

     Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang ingin dicari jawabannya:
1. Bagaimana motivasi pemuda dalam berwirausaha?
2. Bagaimana dukungan aparatur gampong terhadap pemuda dalam berwirausaha?
3. Apa saja hambatan-hambatan bagi pemuda dalam berwirausaha?

C. Tujuan Penelitian

     Berdasarkan dari rumusan permasalahan diatas, maka penulis akan berusaha mencari jawaban:
1. Untuk mengetahui motivasi para pemuda dalam berwirausaha.
2. Untuk mengetahui dukungan aparatur gampong terhadap pemuda dalam berwirausaha.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan bagi pemuda dalam berwirausaha.

D. Manfaat Penelitian

    Berdasarkan tujuan diatas, maka manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis kegunaan dari penelitian ini diharapkan menjadi sebagai salah satu upaya dalam memperluas wawasan ilmu pengetahuan untuk berwirausaha dan dapat memberikan masukan kepada pemerintahan daerah khususnya dalam meningkatkan perkonomian masyarakat yang lebih berkualitas.
2. Secara praktis untuk dapat memberikan pedoman kepada pemuda dan masyarakat agar dapat meningkatkan ekonomi melalui bidang usaha khususnya para pemuda yang berminat melakukannya.

E. Metode Penelitian

     Dalam rangka untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis menggunakan metode kualitatif, dimana penulis melakukan penelitian langsung kelapangan (field research).

  1. Populasi dan Sampel

     Yang dimaksudkan populasi adalah semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel.[4] Sedangkan sampel yaitu sebagian dari seluruh individu yang menjadi objek penelitian. Tujuan penentuan sampel adalah untuk memperoleh keterangan mengenai objek penelitian dengan cara mengamati hanya dari sebagian populasi terhadap jumlah objek penelitian. Pengammbilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara acak (random sampling).

  2. Teknik Pengumpulan Data

      Untuk terlaksananya penelitian ini, maka akan dilakukannya penelitian dengan beberapa teknik:

  a. Wawancara

      Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan berhadapan secara langsung dengan yang diwawancarai tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan dahulu untuk dijawab pada kesempatan lain.[5] Wawancara ada dua macam yakni wawancara terpimpin dan tidak terpimpin, wawancara terpimpin adalah Tanya jawab yang terarah untuk mengumpulkan data yang relevan saja dan wawancara tidak terpimpin yaitu wawancara tidak terarah.[6]

b. Observasi

    Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan.[7] Observasi meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan suatu alat indra.[8] Jadi, observasi adalah mengamati secara langsung terhadap objek penelitian secara penglihatan, pendengaran, dan yang dirasakan. Observasi dalam penelitian ini dilakukan secara langsung dan cermat terhadap objek penelitian sehingga observasi itu dapat menjadi bahan masukan dalam penyelesaian yang dilakukan.

  3. Teknik Pengolahan Data

      Setelah wawancara dan observasi dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data. Pengolahan data bertujuan untuk memperoleh data yang lebih efektif setelah dilakukan survei kelapangan. Dimana data yang telah diperoleh setelah dilakukan analisis data untuk memperoleh informasi yang bermanfaat untuk pembuat keputusan.

  4. Teknik Analisis Data

      Setelah dilakukan pengolahan data, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis data. Analisis dalam penelitian merupakan bagian dalam proses penelitian yang sangat penting. karena dengan analisa ini, data yang akan nampak manfaatnya terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian.[9] Semua data yang diperoleh, baik dari lapangan maupun perpustakaan yang sudah menggunakan berbagai cara dan sistem untuk mendapatkannya, lalu data tersebut diklasifikasikan dan di analisis pengaplikasian dan penganalisaan ini dilakukan dengan menempuh langkah-langkah ssebagai berikut:
Mengumpulkan sejumlah data (data kasar) untuk di selidiki atau di telusuri dan di analisis.
Menyeleksi data yang relevan.
Menganalisis (membahas) dan mengumpulkan.


__________________________________________

[1] http://muchad.com/pengertian-pemuda-dan-macam-macamnya.html, diakses 31 januari 2016

[2] Soejanto Agoes, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm 161

[3] Bahtera Mahadi, Pelatihan Kewirausahaaan, (Banda Aceh, Kadin aceh dan Dekopin Aceh, 2011), hlm 1

[4] Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Ed. 1, cet. 6, (Jakarta: PT. Bumi Aksarra, 2003), hlm. 53

[5] Noor Juliansyah, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 138

[6] M.Nasir Budiman, dkk, Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah (tesis, skripsi, dan disertasi), IAIN Ar-Raniry Pres, cet ke I, (Banda Aceh: Hasanah Grafika, 2004), hlm. 27

[7] P.Joko Subakyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 63

[8] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Aneka Cipta, 2001), hlm. 133

[9] P.Joko Subakyo, Metode Penelitian Dalam…, hlm. 104

Kamis, 13 Oktober 2016

contoh proposal penelitian sejarah

PERKEMBANGAN PELABUAHAN ACEH PADA MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Oleh:

XXXXXXXXXXXX
Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora
Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam
NIM. XXXXXX


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
1437 H/2016 M

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan Proposal ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “PERKEMBANGAN PELABUAHAN ACEH PADA MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA”.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan Proposal ini. Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.


Banda Aceh, Juli 2016

Penulis             



A. Latar belakang

     Perdagangan di Asia sudah berawal di masa Portugis dan VOC, bahkan telah ada berabad-abad sebelumnya, baik perdagangan melalui darat (jalan sutra) maupun melalui laut Dalam masa modern awal itu terjadi interaksi dagang antara para penguasa dan para penjajanya di Nusantara dan organisasi-organisasi dagang besar dari Eropa seperti Estado da India dan East India Company EIC) dari Inggris serta VOC dari Belanda. Banyak bangsa-bangsa yang memasuki Indonesia seperti Portugis, Inggris dan Belanda motivasi bangsa Eropa ke wilayah Nusantara disebabkan oleh faktor seperti Jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki Ottoman yang merupakan pusat rempa-rempah dengan itu mereka mencari sumber rempah-rempah terbaru, lali semangat 3G (Gold, Glory, Gospel), dan perkembangan teknologi dan sistem angin seiring berjalannya waktu Belanda berhasil berkuasa tunggal di Indonesia dengan itu VOC pun berkuasa di nusantara.[1]

       Perkembangan armada dagang di Hindia Belanda jelas akan mempengaruhi peningkatan aktivitas pelayaran antarpulau. Hal ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah colonial yang protektif terhadap pelayaran domestic. Hal ini mengakibatkan armada Belanda mendominasi kegiatan pelayaran domestik, tahun 1879 kapal-kapal Nederland dan Hindia Belanda merupakan 95% dari seluruh armada pelayaran antarpulau di Hindia Belanda, dan hanya 28,5% untuk pelayaran internasional. Dalam hal ini KPM merupakan tulang punggung pelayaran antarpulau di Hindia Belanda, dan memasuki abad XX pelayaran antarpulau meningkat rata-rata 7,6% angka ini lebih tinggi daripada yang dicapai pada perempatan ketiga abad XIX yang hanya mencapai 5,5% menjelang perang dunia I angka tersebut menjadi 2,4% dikarenakan dengan stagnasi dalam perdagangan luar negeri sebagai akibat perang. Seperti diketahui penggunan kapal uap dan motor di perairan Indonesia lebih awal jika dibandingkan dengan negara kepulauan lain di Asia. Hingga tahun 1860-an komunikasi secara regular antarpulau menggunakan kapal layar, penggunaan kapal uap untuk kepentingan komersial baru sejak 1868, sedangkan Hindia Belanda sejak 1842. Penggunaan kapal uap lebih meningkat pesat dalam pelayaran antarpulau daripada pelayaran Internasioanl hal imi menunjukkan bahwa pentingnya pelayaran antarpulau Bagi Hindia Belanda, bukan hanya kepentingan Ekonomi juga mengamankan koloni dari merembesnya kekuatan asing serta dari perlawanan masyarakat setempat, disamping itu juga untuk menggapai integrasi negara colonial dibawah bendera Pax Neerlandica.[2]

      Aceh adalah antara tempat-tempat singgah dan bermukim yang paling awal oleh para pedagang Arab, Persia, dan India dalam usaha mereka mencari komoditi-komoditi unggul pada masa dahulu seperti rempah-ratus dan juga dalam usaha mencari pasar serta produk-produk dari negeri Cina. Catatan pengembaraan seorang agamawan Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa beliau telah bertolak dari Canton menuju India pada tahun 672 Masehi dengan menumpang kapal dagang Persia telah singgah di Aceh dan di sana pada waktu itu telah wujud perkampungan pedagang Arab.


     Di abad ke 13 teks-teks dari Cina menyebut nama Lanwuli atau Lanli yang mengingatkan akan daerah bernama Lamuri. Sementara pada akhir abad ke 13, Marco Polo singgah di pelabuhan-pelabuhan bagian utara Sumatera dan memberitakan terdapatnya agama Islam di salah satu dari enam pelabuhan dagang yang dikunjunginya. Diantaranya, tulis Denys Lombard merujuk pada kesaksian Marco Polo, yaitu Ferlec, Basman, Sumatra, Dagroian, Lambri, dan Fansur. Penyebutan nama Lamuri juga disampaikan oleh Ibnu Sa’id di akhir abad ke 13 oleh Rasyid ad Din pada tahun 1310 dan oleh Abulfida pada 1273 hingga 1331. Rasyid ad Din bahkan menyebutkan Lamuri saat itu telah memiliki raja sendiri. Sementara Abulfida memperkenalkan daerah itu sebagai tempat utama penghasil komoditas kayu sapang dan bambu.[3]


B. Masalah Penelitian


       Untuk lebih terarah dan agar pembahasan ini tidak terlalu luas, maka penelitian ini perlu diberikan batasan dalam penulisannya, adapun pembatasan dalam penelitian ini yaitu: “Perkembangan Pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda” dilihat dari sisi masa kolonial hingga akhir pemerintahan kolonial Belanda.


    a. Rumusan Masalah

        Berdasarkan masalah yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa yang melatar belakangi Perkembangan Pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Bagaimana peranan pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Bagaimana dampak Pelabuahan Aceh diakhir pemerintahan kolonial Belanda?


    b. Tujuan Penelitian

        Tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perkembangan Perkembangan Pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

2. Untuk mengetahui peranan pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

3. Untuk mengetahui dampak Pelabuahan Aceh diakhir pemerintahan kolonial Belanda.


c. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, menambah pengetahuan dan wawasan tentang Perkembangan Pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

2. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi refrensi bagi peneliti yang akan datang.

3. Menambahkan wawasan baru tentang Pelabuahan di Aceh.



C. Prosedur Penelitian

    a. Metode Penelitian

      Metode itu sendri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Metode disini dapat dibedakan dari metodologi adalah Sicience of Methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Secara umum metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiauntuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan Menurut Abdulrahman, Apa bila tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-pristiwa masa lampau maka metode yang digunakan adalah metode histiris. Metode historis itu bertumpun pada empat langkah kegiatan: Heuristik, kritik, Interprstasi, dan Histiografi.[4] 

    Bedasarkan uraian-uraian diatas agar dalam penulisan penelitian lebih ilmiah, data, tujuan, dan kegunaannya. Penulis menggunakan metode historis (Sejarah), yang memiliki empat langkah, Heuristik, Kritik, Interprestasi, dan Histiografi.


     b. Teknik Pengumpulan Data

        Menurut G.J Renier, Heuristik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, mengemukakan, menangani, dan memperinci, bibliografi, atau mengklarifasikan dan merawat catatan catatan.[5]

         Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan cara menilai buku sumber yang ada perpustakan secara kritis yang berhubungan dengan penelitian. Selanjutnya membuat tulisan dengan sumber yang dikumpulkan. Untuk mendapatkan data yang relevan tentang “Perkembangan Pelabuahan Aceh pada masa pemerintahan kolonial Belanda” maka peneliti mencari data melalui perpustakaan, dokumen Dinas perhubungan Aceh, serta artikel dan jurnal yang ada di internet terkait dengan masalah yang diteliti.


     c. Teknik Analisis Data

         Teknik analisis data dalam penelitian ini bersifat analisis data kualitatif. Teknik analisis data kualitatif adalah analisis data yang bersifat menerangkan dan bukan melalui angka angka bentuknya berupa tulisan yang dikritisi oleh peneliti dan dapat ditangkap makna tersirat dari benda atau buku buku atau dokumen.

          Dalam analisis kualitatif peneliti tidak menggunakan sampel, populasi dan variabel karena bahan yang diteliti bersifat tulisan dan menggunakan metode yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Kajian pustaka atau landasan teori digunakan sebagai pemandu agar peneliti dapat meneliti sesuai fakta yang ada di lapangan. Di dalam menganalisis sumber sejarah, peneliti menguji kebenaran atau kesahihan sumber, dan juga bahan bahan dari sumber sejarah untuk dikelompokan dalam penulisan perkembangan agama islam di minang kabau pada masa perang padri. Melakukan pengujian atas asli tidaknya sumber berarti menyeleksi segi segi fisik dari sumber yang ditenukan.[6]

        Melalui tahapan ini penulis akan melakukan penggambaran dari data data yang dikumpulkan tentang perkembangan agama islam di minang kabau pada masa perang padri. Kritik eksteren adalah menilai dari bahan apa buku itu dibuat pada tahap ini peneliti meneliti dengan baik bahan dan juga penerbit serta penanggung jawab dari sumber tersebut sehingga dapat dipercaya sebagai sumber sejarah. Kritik Interen adalah penilaian terhadap keaslian sumber sejarah baik berupa benda atau tertulis. Kritik ini dilaksanakan dengan cara memeriksa secara teliti isi dari sumber itu supaya relevan dan terpercaya mengenai perkembangan agama Islam pada masa perang Paderi. Terakhir adalah kesahihan sumber pemeriksaan buku agar dapat diakui kebenarannya.


D. Tinjauan Pustaka

     a. Pelabuhan

          Pelabuhan merupakan suatu wilayah yang terdiri atas daratan, perairan dengan batas tertentu sebagai tempat untuk melakukan kegiatan pemerintah dan kegiatan ekonomi yang digunakan sebagai tempat untuk bersandar kapal, berlabuhnya kapal, naik atau turunnya penumpang dan bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi.[7]

      Menurut Triatmodjo (1996) pelabuhan (port) adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang, yang dilengkapi dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga dimana kapal bertambat untuk bongkar muat barang, gudang laut (transito) dan tempat-tempat penyimpanan dimana kapal membongkar muatannya, dan gudang-gudang dimana barang-barang dapat disimpan selama menunggu pengiriman ke daerah tujuan atau pengapalan.Pelabuhan merupakan suatu pintu gerbang dan pemelancar hubungan antar daerah, pulau atau bahkan antar benua dan bangsa yang dapat memajukan daerah belakang atau daerah pengaruh.[8]

      b. Aceh

        Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama masuknya budaya dan agama di Nusantara. Pada abad ke-7 para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan Budha. Namun peran Aceh menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya agama islam di daerah ini, yang diperkenalkan oleh pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9.[9]

        Suku Aceh merupakan salah satu suku yang tergolong ke dalam etnik melayu atau ras melayu, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peurelak dan Pasai. Puncak kejayaan Aceh dicapai pada permulaan abad ke-17, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa Sultan Iskandar Muda agama dan Kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan "seuramo mekkah" (serambi mekkah). Namun sepeninggalnya Sultan Iskandar Muda, penggantinya tidak mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut, sehingga posisinya agak melemah. Hal ini menyebabkan Aceh menjadi incaran pihak Barat yang pada saat itu sedang mencari daerah jajahan.

       c. Kolonial Belanda

       Pada abad ke 17 bangsa Portugis mulai datang, kemudian pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh yang disebut "Perang Sabil" atau perang sabilillah yang berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa cukup besar, baik dipihak Belanda yang menyebabkan tewas beberapa orang Jendralnya maupun pihak Aceh banyak para pejuang yang gugur sebagai syuhada. Kondisi ini memaksa Sultan Aceh terakhir, Tengku Muhd. Daud mengakui kedaulatan Belanda di tanah Aceh.[10]

E. Interprestasi

          Tahap selanjutnya adalah interprestasi, yaitu berupa analisis (menguraikan) dan sintensis (menyatukan) fakta-fakta sejarah. Hal ini dilakukan agar fakta-fakta yang tampaknya terlepas antara satu sama lain bisa menjadi satu hubungan yang saling berkaitan. Dengan demikian dapat dikatakan sebagai proses memeknain fakta. Pada tahap analisis, peneliti menguraikan sedetail mungkin ketiga fakta (mentifact, socifact, dan artifact) dari berbagai sumber atau data sehingga unsur-unsur kecil dalam fakta tersebut menampakkan koherensinya. Penafsiran dalam metode sejarah menimbulkan subjektivitas sejarah, sangat sukar di hindari, karena di tafsikan oleh sejarawan (si subjek), sedangkan yang objektif adalah fakta. Penafsiran model sejarah tersebut dapat di terapkan pada ilmu antropologi, seni pertunjukan, studi agama, fiologi, arkeologi, dan ilmu sastra.[11]

F. Historiografi

           Fase terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah hendaknya memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase perencanaan), penyajian historiografi meliputi pengantar, hasil penelitian, simpulan. Penulisan sejarah sebagai laporan seringkali di sebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodesasi, serialisasi, dan kausalitas, sedangkan pada penelitian antropologi tidak boleh mengabaikan aspek holistik (menyeluruh).[12]


       Historiografi adalah cara penulisan, pemaparan, atau memberikan laporan dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga penulis sejarah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian yang sudah dilakukan dari awal penelitian sampai selesai penelitian.[13]


        Sedangkan pengertian lain dari historiografi adalah suatu kegiatan intelektual untuk memahami sejarah hal itu menjurus bahwa historiografi adalah proses terakhir dari metode historis. Dalam tahap ini peneliti mulai menulis secara kritis supaya dapat dipertanggung jawabkan faktanya. Historiografi adalah bagian inti dari suatu penelitian. Didalamnya memuat bab bab yang berisi uraian serta pembahasan masalah yang sedang diteliti. Dalam bab bab ditunjukan kemampuan peneliti dalam mengkaji serta menyajikan data dari sumber yang diperoleh mengenai sumbangan pemikiran politik Mohamad Natsir dalam pembentukan zaken kabinet tahun 1950-1951.[14]

       Adapun bagian kesimpulannya adalah mengemukakan generalisasidari yang telah diuaraikan. Simpulan merupakan hasil dari analisis serta fakta sejarah dari masalah yang diteliti. Setelah semua itu tercapai akan jadi bahan penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan penulisaanya.[15]


______________________________________

[1] Poesponegoro & Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka, hlm 5


[2] Singgih Tri Sulistiyono. 2004. Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: DIKTI Departemen Pendidikan Nasional, hlm 144-146


[3] Mohammad Said. 1981. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Penerbitan Waspada, hlm 53-81


[4] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: PT Logos wacana Ilmu 1999, hlm 53


[5] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 55


[6] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 59


[7] PP No. 69 Bab 1 Pasal 1 Tahun 2001








[11] Sugeng Priyadi, Metode Penelitian Pendidikan Sejarah, Yogyakarta: Ombak 2012, hlm 76


[12] Sugeng Priyadi, Metode Penelitian Pendidikan Sejarah……, hlm 79


[13] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 67


[14] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 69


[15] Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah…..., hlm 70

Rabu, 12 Oktober 2016

museum

APA ITU MUSEUM ?

A. Pengertian Museum


Museum merupakan suatu badan tetap, tidak tergantung kepada siapa pemiliknya melainkan harus tetap ada. Museum bukan hanya merupakan tempat kesenangan, tetapi juga untuk kepentingan studi dan penelitian. Museum terbuka untuk umum dan kehadiran serta fungsi-fungsi museum adalah untuk kepentingan dan kemajuan masyarakat.


Museum dalam kaitannya dengan warisan budaya adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Namun museum dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada umumnya mempunyai arti yang sangat luas.


Koleksi museum merupakan bahan atau obyek penelitian ilmiah. Museum bertugas mengadakan, melengkapi dan mengembangkan tersedianya obyek penelitian ilmiah itu bagi siapapun yang membutuhkan. Selain itu museum bertugas menyediakan sarana untuk kegiatan penelitian tersebut bagi siapapun, di samping museum bertugas melaksanakan kegiatan penelitian itu sendiri dan menyebar luaskan hasil penelitian tersebut untuk pengembangan ilmu pengetahuan umumnya.


B. Peran dan Fungsi Museum terhadap Masyarakat.


Perkembangan museum di Indonesia saat ini dapat dikatakan cukup bagus, tetapi tentu memerlukan peningkatan-peningkatan agar Indonesia sebagai bangsa yang menghargai hasil karya pendahulunya dan melestarikan warisan budaya leluhur sehingga museum sebagai fasilitator masyarakat dengan peradaban budaya dapat diwujudkan. Museum juga diharapkan mampu menjadi mediator yang tidak membedakan kebudayaan antardaerah, tetapi tercipta peradaban yang multikultural, yaitu menjadikan perbedaan budaya menjadi suatu warna yang meramaikan khasanah kebudayaan bangsa sebagai identitas bangsa. Itulah peran Museum.


Museum diharapkan tidak hanya sekedar memantulkan perubahan-perubahan yang ada di lingkungan, tetapi juga sebagai media untuk menunjukkan perubahan sosial serta pertumbuhan budaya dan ekonomi. Museum berperan dalam proses transformasi yang mewujudkan perkembangan struktur intelektual dan tingkat kehidupan yang membaik. Perkembangan tersebut tentu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan dalam bahasa dan budayanya masing-masing. Inilah makna yang ingin disampaikan oleh Museum melalui benda yang disajikan atau dipamerkan sebagai instrumen memahami masyarakat pendukungnya.


Museum dalam bentuk apapun, baik secara ilmiah, seni maupun sejarah tentu tidak sekedar dibicarakan dalam artian teoritis semata. Museum diharapkan berarti praktis yang dapat diimplementasikan dengan kisaran jumlah publik yang tidak sedikit. Dengan demikian, bicara mengenai museum sebagai media komunikasi massa harus mendapatkan klaim dari semua golongan masyarakat. Museum tidak hanya diklaim menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi sangat perlu didukung oleh para akademisi, peneliti, bahkan pengusaha. Jadi, peran museum diharapkan dapat mendukung pembangunan nasional, pembangunan masyarakat seluruhnya dan seutuhnya.


Tugas museum memang seharusnya dapat membantu proses pembangunan yang tetap bertanggung jawab dengan permasalahan ekologi. Museum harus terus menjadi cermin identitas suatu bangsa dan inspirasi bagi masyarakat. Museum dapat berperan serta secara penuh untuk mengomunikasikan secara efektif pengaruh peradaban manusia bagi ekosistem. Museum harus dapat menjadi proyeksi bagi perkembangan zaman, tetapi tetap menjaga stabilitas dan produktivitas masyarakat. Museum perlu merefleksikan diri sebagai tempat yang menggambarkan pusat penelitian, pusat multi media, dan pusat pendidikan dalam melestarikan kebudayaan masyarakat. Namun, harus diingat bahwa pelaksanaan pendidikan di museum tidak dapat dijelaskan secara efektif tanpa kerja sama yang erat dan koordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya maupun masyarakat.


Museum dapat bertindak sebagai fasilitator dan katalisator bagi riset kebudayaan masa lampau sekaligus masa kini di semua ranah, baik lokal, nasional, regional, dan global. Museum integral atau interdisiplin ini tidak untuk mengingkari nilai-nilai museum yang telah ada dan juga tidak meninggalkan prinsip-prinsip Museum. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya kemunculan internet justru harus mampu mendukung pemasaran museum sebagai sumber informasi untuk memberi penerangan dalam menyadarkan identitas suatu bangsa yang menghargai hasil karyanya.






Referensi


Direktorat Museum. 2008. Pedoman Museum Indonesia. Jakarta: Direktorat Museum Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Sutaarga, Moh. Amir. 1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum. Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman Jakarta.