Sabtu, 22 Oktober 2016

Perlawanan umat Islam Indonesia terhadap kolonial Belanda

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Kedatangan Belanda ke Indonesia di mulai pada abad ke 16 yang mana berlayar empat buah kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tujuan pelayaran tersebut adalah ke Jawa Barat tepatnya di pelabuhan Banten. Tujuan mereka adalah mencari rempah-rempah dan berdagang, namun melihat kekayaan bangsa Indonesia yang kaya akan hasil alamnya, mereka akhirnya bertujuan untuk menjajah Indonesia.
Belanda berhasil menancapkan kukunya di Indonesia dengan misinya yang ganda (antara imperialis dan kristenisasi) justru sangat merusak dan menjungkirbalikkan tatanan yang sudah ada. Sejak dari zaman VOC (Perseroan Dagang Belanda) kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama atau gold, glory dan gospel yang dikenal dengan sebutan 3G. Maka mulailah kolonialisme yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia.[1]
Umat Islam adalah kekuatan terbesar di negeri ini. Semangat Islam yang kemudian memicu semangat perlawanan bangsa ini untuk mengusir penjajah. Perjuangan bangsa Indonesia dalam meretas jalan menuju kemerdekaan tak lepas dari peran umat Islam. Dengan pengorbanan harta dan jiwa kaum Muslimin, bangsa ini mampu berdiri tegak mengusir penjajah. Perjuangan umat Islam inilah, yang kemudian menciptakan suatu karakter dan cita untuk berjuang menegakkan keadilan dan kemerdekaan, menghapuskan segala bentuk penjajahan, dan berani mati untuk memperjuangkan cita-cita yang luhur.
Di wilayah Nusantara (Indonesia) yang begitu luas, mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam mempunyai semangat yang kuat untuk bisa lepas dari cengkeraman penjajah. Semangat itu tumbuh subur karena adanya rasa tanggungjawab terhadap tanah air, bangsa dan agama. Ajaran Islam yang begitu tegas menentang segala penjajahan di atas muka bumi menjadi pemantik yang menyalakan api perlawanan di mana-mana. Islam menjadi simbol perlawanan dari penjajahan.
  1. Rumusan Permasalahan
1.      Bagaimana keadaan umat Islam Indonesia ketika datangnya Belanda ?
2.      Bagaimana perlawanan umat Islam Indonesia terhadap kolonial Belanda ?
  1. Tujuan Permasalahan
1.      Memahami keadaan umat Islam Indonesia ketika datangnya Belanda.
2.      Memahami perlawanan umat Islam Indonesia terhadap kolonial Belanda.
  


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Keadaan Umat Islam Indonesia Ketika Datangnya Belanda
Menjelang kedatangan Belanda diakhir abad ke 16 dan awal abad ke 17 keadaan Umat Islam di Indonesia khususnya dalam bentuk kekerajaan itu tidaklah sama. Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga dalam proses  pengembangan Islam di kerajaan-kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatra, penduduknya sudah islam sekitar tiga abad, sedangkan di Maluku dan Sulawesi proses islamisasi baru berlangsung. Di Sumatra kerajaan malaka jatuh ke tangan portugis, sehingga persatuan politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segi  tiga  Aceh, Portugis dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam.[2]
Pada abad ke 16 Aceh kelihtan lebih dominan, karena  para pedagang muslim menghindar dari Malaka lebih memilih Aceh sebagai pelabuahan transit. Kemenangan Aceh atas Johor  pada tahun 1564 membuat kerajaan ini menjadi daerah vassal dari Aceh.[3] Aceh telah berhasil mengusai daerah-daerah di Sumatra bagian Utara, Setelah itu Aceh juga berusaha menguasai Jambi  pelabuhan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah-daerah pedalaman, seperti Minangkabau, dan yang diangkut lewat sungai Indragiri, Kampar dan Batanghari.
Di daerah Jambi penduduknya ketika itu  sudah islam, Jambi juga merupakan pelabuhan transito, tempat beras dan bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India, dan lain-lain di ekspor ke Malaka. Selain itu Aceh juga berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatra dan mencakup Tiku, Pariaman, dan Bengkulu. Ketika itu Aceh memang berada pada masa kejayaan dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Setelah Sulatan Iskandar Muda wafat digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini masih mampu mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah dia wafat 15 Februari 1641, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Pada waktu itulah Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah-daerah di Sumatra yang dulu berada di bawah kekusaannya mulai memerdekakan diri. Meski mengalami kemunduran, Aceh masih bertahan lama menikmati kedaulatannya dari intervensi kekuasaan asing. Padahal kerajaan islam lainnya seperti Minangkabuau, Jambi, Riau dan Palembang tidak demikian.[4]
  1. Perlawanan Terhadap Belanda
Ketika Belanda memulai penjajahannya terhadap Indonesia, Belanda mendapat perlawanan oleh rakyat yang di karenakan bangsa Indonesia terjajah dan diperlakukan semena-mena oleh Belanda. Perlawanan tersebut bukan hanya dari bentuk politik kebangsaan, melainkan juga  dari agama. Bahwasanya Belanda disamping menguasai Indonesia dari segi perekonomian, mereka juga menyebarkan agama, yaitu Kristen. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa perlawanan rakyat yang meliputi semua wilayah Nusantara (Indonesia) berperan dalam perjuangan melawan penjajah. Pada abad ke 17 perlawanan terhadap penjajah diantaranya dilakukan oleh :
1.      Sultan Agung Mataram
2.      Sultan Iskandar Muda
3.      Sultan Hasanuddin Makassar
4.      Sultan Agung Tirtayasa
5.      Raja Iskandar Minangkabau
6.      Trunojoyo Madura
7.      Karaeng Galesong dari Makassar
8.      Untung Surapati, Adipati Aria Jayanegara, dan lain-lain.[5]
Perlawanan-perlawanan berlangsung terus-menerus antara rakyat Indonesia dan Belanda yang saling berkesinambungan dengan antar wilayah di Indonesia. Perlawanan-perlawanan itu diantaranya Perang Padri di Minangkabau. Perang ini berlangsung antara tahun 1821-1837 yang terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat. Perang ini dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah seorang berpengaruh dalam keislaman di daerah tersebut, dan juga dibantu oleh ulama lainnya. Pusat kekuasaannya di Pagaruyung, peranan raja hanya sebatas lambang dan yang memegang kekuasaan adalah para penghulu adat. Islam telah masuk di Minangkabau pada abad ke 16 di masa Tuanku Koto Tuo.
Perang ini dipicu oleh campur tangannya pihak Belanda dalam persoalan konflik antara golongan Adat dan kaum Paderi, golongan Adat yang meminta bantuan kepada pihak Belanda untuk melawan pihak kaum Paderi. Pada 1921 maka Belanda telah melangsungkan peralawanan terhadap kaum Paderi serta memulai penjajahannya di tanah Minang tersebut. Hinnga pada Agustus 1837 Belanda berhasil menduduki di Bonjol, Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol akirnya ditangkap dan diasingkan ke Cianjur kemudian dipindahkan ke ambon dan akhirnya di Manado hingga Ia tutup usia.[6]
Selanjutnya Perang Diponegoro, perang ini disebut juga dengan perang rakyat Jawa yang berlangsung  antara tahun 1825-1830. Perang ini merupakan perang besar yang dialami oleh Belanda.[7] Pada 28 Maret 1830 berlangsungnya perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda, namun tidak berujung damai dikarenanakan tuntutannya untuk mendirikan Negara merdeka bersendikan Islam. Pada 3 Mei 1830 Ia ditangkap dan menjadi tawanan oleh pihak Belanda, kemudian diasingkan ke Manado dan dipindahkan ke Makassar. Ia tutup usia 8 Januari 1855 di usianya kurang lebih 70 tahun.
Perang Diponegoro berlangsung selama 5 tahun dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830. Perang tersebut merupakan perjuangan rakyat Islam yang ada di Jawa, yang bertujuan untuk mengusir para penjajahan Belanda terhadap Mereka untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.[8]

Pada tahun 1873, Belanda mulai menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh atau dikenal dengan Perang Aceh. Perang ini adalah perang yang berlangsung paling lama yang dikarenakan Belanda susah dalam merebut atau menguasai wilayah Aceh. Perang ini berlangsung antara tahun 1873-1904 dalam kurun waktu 31 tahun lamanya. Awal perang ini dipicu akibat Belanda melanggar Traktat London 1824 yang mana Inggris menyatakan kedaulatan dan kemerdekaan Aceh. Pada tanggal 22 Maret 1873 datanglah utusan Belanda bernama F.N. Nieuwenhusye menghadap Sultan Aceh yang membawa surat berupa Ultimatum agar Aceh mengakui kedaulatan kolonial Belanda. Empat hari setelahnya Belanda menyatakan perang terhadap Aceh.
Pada tahun 1873, pasukan Belanda dibawah pimpinan J.H.R Kohler mulai menggempur Aceh. Hingga 14 April 1873 Mesjid Raya Baiturrahman berhasil diduduki Belanda, namun Kohler tewas dan serangan pertama Belanda ke Aceh dinyatakan mengalami kegagalan. Menjelang akhir tahun 1873 dikirimkan kembali pasukan dibawah pimpinan Van Swieten yang tujukan pengoperasiannya untuk menggempur istana Kutaraja Aceh dan melancarkan serangan ke penjuru wilayah kekuasaan Aceh.[9]

BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Perjuangan Indonesia bukan hanya melawan penindasan dari penjajahannya saja yang dilakukan di setiap wilyah yang ada di Indonesia, juga menyebarkan agam yang mereka bawa ke Nusantara (Indonesia). Pada awalnya mereka berdagang, namun diakibat keserakahannya terhadap kekayaan alam di Indonesia ini yang membuat ia ingin menguasai dan menyatakan perang di segenap penjuru Nusantara. Maka muncul perlawanan di berbagai wilayah Nusantara.
Perang Padri di Minangkabau. Perang ini berlangsung antara tahun 1821-1837 yang terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat. Perang ini dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah seorang berpengaruh dalam keislaman di daerah tersebut, dan juga dibantu oleh ulama lainnya. Selanjutnya, Perang Diponegoro, perang ini disebut juga dengan perang Jawa yang berlangsung  antara tahun 1825-1830. Perang ini merupakan perang besar yang dialami oleh Belanda.
Pada tahun 1873, Belanda mulai menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh atau dikenal dengan Perang Aceh. Perang ini adalah perang yang berlangsung paling lama yang dikarenakan Belanda susah dalam merebut atau menguasai wilayah Aceh. Perang ini berlangsung antara tahun 1873-1904 dalam kurun waktu 31 tahun lamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Yatim, Badri.  2000.  Sejarah Peradaban Islam.  Jakarta:  Raja Grafindo Persada.
Hamka.  1981.  Sejarah Umat Islam, Jilid IV.  Jakarta:  Bulan Bintang.
Kartodirdjo, Sartono.  1987.  Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900.  Jakarta: Gramedia.



[1]   Hamka, Sejarah umat islam, Jilid IV, Jakarta: Bulan Bintang , 1981, hlm. 237-238.
[2]   Sartono Kartodirdjo, Pengantar sejarah Indonesia baru: 1500-1900, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. 61.
[3]   Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 231
[4]   Sartono Kartodirdjo, ibid., hlm. 65.
[5]   Hamka, Sejarah umat islam, hlm. 271.
[6]   Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm. 244.
[7]   Sartono Kartodirdjo, hlm. 381.
[8]   Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm. 247.
[9]   Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm. 249-251.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar