BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Kedatangan
Belanda ke Indonesia di mulai pada abad ke 16 yang mana berlayar empat buah
kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Tujuan pelayaran tersebut
adalah ke Jawa Barat tepatnya di pelabuhan Banten. Tujuan mereka adalah mencari
rempah-rempah dan berdagang, namun melihat kekayaan bangsa Indonesia yang kaya
akan hasil alamnya, mereka akhirnya bertujuan untuk menjajah Indonesia.
Belanda
berhasil menancapkan kukunya di Indonesia dengan misinya yang ganda (antara
imperialis dan kristenisasi) justru sangat merusak dan menjungkirbalikkan tatanan
yang sudah ada. Sejak dari zaman VOC (Perseroan Dagang Belanda) kedatangan
mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama atau gold, glory
dan gospel yang dikenal dengan sebutan 3G. Maka mulailah kolonialisme yang
dilakukan Belanda terhadap Indonesia.[1]
Umat
Islam adalah kekuatan terbesar di negeri ini. Semangat Islam yang kemudian
memicu semangat perlawanan bangsa ini untuk mengusir penjajah. Perjuangan
bangsa Indonesia dalam meretas jalan menuju kemerdekaan tak lepas dari peran
umat Islam. Dengan pengorbanan harta dan jiwa kaum Muslimin, bangsa ini mampu
berdiri tegak mengusir penjajah. Perjuangan umat Islam inilah, yang kemudian
menciptakan suatu karakter dan cita untuk berjuang menegakkan keadilan dan
kemerdekaan, menghapuskan segala bentuk penjajahan, dan berani mati untuk memperjuangkan
cita-cita yang luhur.
Di
wilayah Nusantara (Indonesia) yang begitu luas, mayoritas bangsa Indonesia yang
beragama Islam mempunyai semangat yang kuat untuk bisa lepas dari cengkeraman
penjajah. Semangat itu tumbuh subur karena adanya rasa tanggungjawab terhadap
tanah air, bangsa dan agama. Ajaran Islam yang begitu tegas menentang segala
penjajahan di atas muka bumi menjadi pemantik yang menyalakan api perlawanan di
mana-mana. Islam menjadi simbol perlawanan dari penjajahan.
- Rumusan
Permasalahan
1. Bagaimana
keadaan umat Islam Indonesia ketika datangnya Belanda ?
2. Bagaimana
perlawanan umat Islam Indonesia terhadap kolonial Belanda ?
- Tujuan
Permasalahan
1. Memahami
keadaan umat Islam Indonesia ketika datangnya Belanda.
2. Memahami
perlawanan umat Islam Indonesia terhadap kolonial Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
- Keadaan Umat Islam
Indonesia Ketika Datangnya Belanda
Menjelang
kedatangan Belanda diakhir abad ke 16 dan awal abad ke 17 keadaan Umat Islam di
Indonesia khususnya dalam bentuk kekerajaan itu tidaklah sama. Perbedaan
keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga
dalam proses pengembangan Islam di
kerajaan-kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatra, penduduknya sudah islam sekitar
tiga abad, sedangkan di Maluku dan Sulawesi proses islamisasi baru berlangsung. Di
Sumatra kerajaan malaka jatuh ke tangan portugis, sehingga persatuan politik di
kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segi tiga Aceh,
Portugis dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam.[2]
Pada
abad ke 16 Aceh kelihtan lebih dominan, karena para pedagang muslim
menghindar dari Malaka lebih memilih Aceh sebagai pelabuahan
transit. Kemenangan Aceh atas Johor pada tahun 1564 membuat
kerajaan ini menjadi daerah vassal dari Aceh.[3]
Aceh telah berhasil mengusai daerah-daerah di Sumatra bagian Utara, Setelah itu
Aceh juga berusaha menguasai Jambi pelabuhan pengekspor lada yang
banyak dihasilkan di daerah-daerah pedalaman, seperti Minangkabau, dan yang
diangkut lewat sungai Indragiri, Kampar dan Batanghari.
Di
daerah Jambi penduduknya ketika itu sudah islam, Jambi juga
merupakan pelabuhan transito, tempat beras dan bahan-bahan lain dari Jawa, Cina,
India, dan lain-lain di ekspor ke Malaka. Selain itu Aceh juga berhasil
menguasai perdagangan pantai barat Sumatra dan mencakup Tiku, Pariaman, dan
Bengkulu. Ketika itu Aceh memang berada pada masa kejayaan dibawah kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda.
Setelah
Sulatan Iskandar Muda wafat digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini
masih mampu mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah dia wafat 15 Februari
1641, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59
tahun. Pada waktu itulah Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah-daerah di
Sumatra yang dulu berada di bawah kekusaannya mulai memerdekakan diri. Meski
mengalami kemunduran, Aceh masih bertahan lama menikmati kedaulatannya dari
intervensi kekuasaan asing. Padahal kerajaan islam lainnya seperti Minangkabuau,
Jambi, Riau dan Palembang tidak demikian.[4]
- Perlawanan
Terhadap Belanda
Ketika
Belanda memulai penjajahannya terhadap Indonesia, Belanda mendapat perlawanan
oleh rakyat yang di karenakan bangsa Indonesia terjajah dan diperlakukan
semena-mena oleh Belanda. Perlawanan tersebut bukan hanya dari bentuk politik
kebangsaan, melainkan juga dari agama.
Bahwasanya Belanda disamping menguasai Indonesia dari segi perekonomian, mereka
juga menyebarkan agama, yaitu Kristen. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa
perlawanan rakyat yang meliputi semua wilayah Nusantara (Indonesia) berperan
dalam perjuangan melawan penjajah. Pada abad ke 17 perlawanan terhadap penjajah
diantaranya dilakukan oleh :
1. Sultan
Agung Mataram
2. Sultan
Iskandar Muda
3. Sultan
Hasanuddin Makassar
4. Sultan
Agung Tirtayasa
5. Raja
Iskandar Minangkabau
6. Trunojoyo
Madura
7. Karaeng
Galesong dari Makassar
8. Untung
Surapati, Adipati Aria Jayanegara, dan lain-lain.[5]
Perlawanan-perlawanan
berlangsung terus-menerus antara rakyat Indonesia dan Belanda yang saling
berkesinambungan dengan antar wilayah di Indonesia. Perlawanan-perlawanan itu
diantaranya Perang Padri di Minangkabau. Perang ini berlangsung antara tahun
1821-1837 yang terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat. Perang ini dipimpin oleh
Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah seorang berpengaruh dalam keislaman di
daerah tersebut, dan juga dibantu oleh ulama lainnya. Pusat kekuasaannya di Pagaruyung,
peranan raja hanya sebatas lambang dan yang memegang kekuasaan adalah para
penghulu adat. Islam telah masuk di Minangkabau pada abad ke 16 di masa Tuanku
Koto Tuo.
Perang
ini dipicu oleh campur tangannya pihak Belanda dalam persoalan konflik antara
golongan Adat dan kaum Paderi, golongan Adat yang meminta bantuan kepada pihak
Belanda untuk melawan pihak kaum Paderi. Pada 1921 maka Belanda telah melangsungkan
peralawanan terhadap kaum Paderi serta memulai penjajahannya di tanah Minang
tersebut. Hinnga pada Agustus 1837 Belanda berhasil menduduki di Bonjol,
Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol akirnya ditangkap dan diasingkan ke Cianjur
kemudian dipindahkan ke ambon dan akhirnya di Manado hingga Ia tutup usia.[6]
Selanjutnya
Perang Diponegoro, perang ini disebut juga dengan perang rakyat Jawa yang
berlangsung antara tahun 1825-1830.
Perang ini merupakan perang besar yang dialami oleh Belanda.[7]
Pada 28 Maret 1830 berlangsungnya perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan
pihak Belanda, namun tidak berujung damai dikarenanakan tuntutannya untuk
mendirikan Negara merdeka bersendikan Islam. Pada 3 Mei 1830 Ia ditangkap dan
menjadi tawanan oleh pihak Belanda, kemudian diasingkan ke Manado dan
dipindahkan ke Makassar. Ia tutup usia 8 Januari 1855 di usianya kurang lebih
70 tahun.
Perang
Diponegoro berlangsung selama 5 tahun dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 hingga
28 Maret 1830. Perang tersebut merupakan perjuangan rakyat Islam yang ada di
Jawa, yang bertujuan untuk mengusir para penjajahan Belanda terhadap Mereka
untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.[8]
Pada
tahun 1873, Belanda mulai menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh atau dikenal
dengan Perang Aceh. Perang ini adalah perang yang berlangsung paling lama yang
dikarenakan Belanda susah dalam merebut atau menguasai wilayah Aceh. Perang ini
berlangsung antara tahun 1873-1904 dalam kurun waktu 31 tahun lamanya. Awal
perang ini dipicu akibat Belanda melanggar Traktat London 1824 yang mana
Inggris menyatakan kedaulatan dan kemerdekaan Aceh. Pada tanggal 22 Maret 1873
datanglah utusan Belanda bernama F.N. Nieuwenhusye menghadap Sultan Aceh yang
membawa surat berupa Ultimatum agar Aceh mengakui kedaulatan kolonial Belanda.
Empat hari setelahnya Belanda menyatakan perang terhadap Aceh.
Pada
tahun 1873, pasukan Belanda dibawah pimpinan J.H.R Kohler mulai menggempur
Aceh. Hingga 14 April 1873 Mesjid Raya Baiturrahman berhasil diduduki Belanda,
namun Kohler tewas dan serangan pertama Belanda ke Aceh dinyatakan mengalami
kegagalan. Menjelang akhir tahun 1873 dikirimkan kembali pasukan dibawah
pimpinan Van Swieten yang tujukan pengoperasiannya untuk menggempur istana
Kutaraja Aceh dan melancarkan serangan ke penjuru wilayah kekuasaan Aceh.[9]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Perjuangan
Indonesia bukan hanya melawan penindasan dari penjajahannya saja yang dilakukan
di setiap wilyah yang ada di Indonesia, juga menyebarkan agam yang mereka bawa
ke Nusantara (Indonesia). Pada awalnya mereka berdagang, namun diakibat
keserakahannya terhadap kekayaan alam di Indonesia ini yang membuat ia ingin
menguasai dan menyatakan perang di segenap penjuru Nusantara. Maka muncul
perlawanan di berbagai wilayah Nusantara.
Perang
Padri di Minangkabau. Perang ini berlangsung antara tahun 1821-1837 yang
terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat. Perang ini dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol yang merupakan salah seorang berpengaruh dalam keislaman di daerah
tersebut, dan juga dibantu oleh ulama lainnya. Selanjutnya, Perang Diponegoro,
perang ini disebut juga dengan perang Jawa yang berlangsung antara tahun 1825-1830. Perang ini merupakan
perang besar yang dialami oleh Belanda.
Pada
tahun 1873, Belanda mulai menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh atau dikenal
dengan Perang Aceh. Perang ini adalah perang yang berlangsung paling lama yang
dikarenakan Belanda susah dalam merebut atau menguasai wilayah Aceh. Perang ini
berlangsung antara tahun 1873-1904 dalam kurun waktu 31 tahun lamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hamka. 1981. Sejarah Umat Islam, Jilid IV. Jakarta: Bulan Bintang.
Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
1500-1900. Jakarta: Gramedia.
[1]
Hamka,
Sejarah umat islam, Jilid IV,
Jakarta: Bulan Bintang , 1981, hlm. 237-238.
[2] Sartono Kartodirdjo, Pengantar sejarah Indonesia baru: 1500-1900, Jakarta: Gramedia,
1987, hlm. 61.
[3] Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm.
231
[4] Sartono
Kartodirdjo, ibid., hlm. 65.
[5] Hamka,
Sejarah umat islam, hlm. 271.
[6]
Badri Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm. 244.
[7] Sartono
Kartodirdjo, hlm. 381.
[8] Badri
Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm.
247.
[9] Badri
Yatim, Sejarah peradaban islam, hlm.
249-251.